Pemerintah telah mensubsidi minyak goreng curah menjadi Rp 14.000 per liter, sedangkan harga minyak goreng premium atau kemasan di lepas ke harga pasar sehingga melambung hingga Rp 25.000 per liter.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengungkapkan, hal ini dapat menimbulkan pergeseran konsumen dari minyak goreng kemasan ke minyak goreng curah.
"Kalau minyak goreng curah yang disubsidi, itu berarti kemungkinannya akan terjadi pergeseran migrasi dari konsumen yang membeli minyak goreng kemasan ke minyak goreng curah subsidi," ujarnya kepada Kompas.com, Minggu (20/3/2022).
Konsumen Minyak Goreng Kemasan Diprediksi Bakal "Migrasi" ke Curah
Menurut Bhima, kebijakan mensubsidi minyak goreng curah dan melepas harga minyak goreng kemasan ke pasar dapat membuat selisih harga yang sangat lebar antara kedua produk tersebut.
Oleh karena itu, ia menilai masyarakat akan lebih memilih minyak goreng curah karena harganya jauh lebih murah dari minyak goreng kemasan. Terutama masyarakat menengah ke atas yang selama ini menggunakan minyak goreng kemasan.
"Maka tidak menutup kemungkinan mereka akan turun kelas untuk mengkonsumsi minyak goreng curah," kata dia.
Selain itu, Bhima juga memperkirakan subsidi minyak goreng curah tidak akan diserap maksimal oleh masyarakat miskin karena minyak goreng curah tersebut juga menjadi incaran masyarakat menengah atas.
"Itu dapat mengakibatkan alokasi subsidi BPDPKS tidak mencukupi. Akhirnya akan terjadi kelangkaan juga," ucapnya.
Menurut Bhima, pengawasan kebijakan subsidi ini juga akan sulit karena dana subsidi berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Selain itu kata dia, minyak goreng curah mudah dioplos dengan minyak goreng jelantah yang tidak baik untuk kesehatan. Hal ini karena minyak goreng curah tidak ada mereknya sesuai minyak goreng kemasan.
"Karena tidak ada kemasannya, tidak ada barcodenya, tidak ada kode produksinya, maka ini rentan (dioplos) dan rentan terjadinya penimbunan," ucapnya.
Dia mengungkapkan, seharusnya pemerintah tetap menerapkan kebijakan Domestic Obligation (DMO) minyak sawit mentah dan mencari rantai distribusi yang bermasalah dan membasmi para penimbun.
"Khawatirnya pemerintah gonta-ganti kebijakan ini karena tidak kuat berada dalam tekanan konglomerat sawit," tutur dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Aktifkan Notifikasimu
Aktifkan
Inilah cara menulis artikel secara otomatis di blogger!
Comments
Post a Comment