Sedang Viral, Seni Menyampaikan Umpan Balik

Sedang Viral, Seni Menyampaikan Umpan Balik

“Kita semua membutuhkan orang yang akan memberikan kita umpan balik. Begitulah cara agar kita dapat berkembang.” — Bill Gates.

DALAM bekerja dan berkarier, setiap orang pasti membutuhkan umpan balik. Mana mungkin seseorang dapat meniti karier tanpa sekalipun menerima masukan dari atasan, pelanggan, atau orang lainnya?

Koreksi, kritik, masukan, dan pujian dalam kegiatan coaching, counseling, dan mentoring adalah contoh pemberian umpan balik. Umpan balik juga dapat menginspirasi, meningkatkan kepercayaan diri, dan menimbulkan kepuasan kerja pada bawahan.

Seni Menyampaikan Umpan Balik


4+

KOMPAS.com: Berita Terpercaya

Baca Berita Terbaru Tanpa Terganggu Banyak Iklan

Dapatkan Aplikasi

Banyak milenial mengungkapkan bahwa mereka menyukai umpan balik. Bahkan, mereka berharap atasannya memberikan lebih banyak umpan balik. Dengan demikian, mereka merasa pekerjaan mereka diperhatikan.

Meski demikian, mengoptimalkan umpan balik bukan perkara mudah. Tak jarang, proses umpan dalam sebuah organisasi tidak berjalan secara efektif.

Ada organisasi yang mengatur pemberian umpan balik dengan sangat teratur, berkala, dan terkontrol. Ada juga yang seadanya sehingga tidak mengena, bahkan menurunkan semangat belajar para karyawannya.

Ada pimpinan perusahaan yang tidak dapat mengontrol diri ketika memberi teguran, mulai dari sindiran halus hingga ucapan keras yang tidak jarang menyinggung harga diri karyawannya di depan umum.

Ada atasan yang bingung mencari kata-kata. “Tidak tahu apa yang mau dikatakan,” komentar bawahannya. Ada pula atasan yang menganggap bawahannya tidak kunjung mengerti dan berevolusi, meskipun sudah ditegur dengan beragam cara.

Artinya, banyak potensi kegagalan proses penyampaian umpan balik. Ini tentu menjadi hal yang ironis.

Sebuah riset menunjukkan, 58 persen manajer mengaku sudah melakukan umpan balik. Melihat angka ini, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar organisasi sudah membangun budaya pembelajaran.

Namun, mengapa dampak positif dari umpan balik sulit dirasakan dan tertanam dalam organisasi? Mengapa banyak manajer berhasil hingga target kinerja, tetapi tidak berhasil dalam mengembangkan perilaku anak buahnya?

Terkadang, kita sering melupakan inti dan “nilai” umpan balik yang diberikan kepada bawahan. Masih banyak manajer menganggap umpan balik hanya sebagai tugas yang harus diselesaikan tanpa peduli hasilnya. Ini membuat umpan balik malah berujung tidak produktif.

Sementara itu, penelitian lain menemukan bahwa 70 persen pekerja merasa kurang dibimbing, kurang menerima kesempatan bertatap muka, dan kemudian menjadi disengaged.

Hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa fungsi pemberian umpan balik sangat penting dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Oleh karena itu, para atasan perlu benar-benar menguasai cara memberi umpan balik yang pas.

Kita perlu menyiapkan strategi untuk membangun hubungan yang bermakna sehingga para bawahan dapat menikmati hubungan yang lebih dalam dengan tempat kerjanya. Umpan balik positif akan membuat pengaruh kita lebih kuat.

Lihat Foto

Dok. EXPERD

Eileen Rachman

Terkait umpan balik, ada tiga hal yang perlu disadari oleh kita, baik sebagai atasan juga bawahan.

Pertama, pertanyakan apakah pemberian umpan balik merupakan real conversation atau tidak. Artinya, pastikan komunikasi yang dilakukan tidak bersifat satu arah, bahkan bernada mencerca hingga membuat bawahan Anda tidak mampu menjawab, berkata-kata, dan berpikir.

Kim Scott dalam buku best seller-nya, Radical Candor, mengungkapkan bahwa seorang pemimpin sejati selalu mampu menunjukkan perhatian personalnya dan sanggup memberi tantangan kepada bawahannya, tanpa membuat mereka merasa kecil atau terpojok.

Banyak orang merasa bahwa sikap terlalu baik kepada bawahan dapat membuat mereka merasa tak tertantang. Di sinilah seninya, mencari cara agar dapat menjadi atasan kind and direct yang tahu mengkritik secara tepat.

Kunci dari pemberian kritik adalah mengetahui solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Kita hanya perlu melatih bawahan untuk mencari solusinya secara mandiri.

Bawahan juga perlu merasa bahwa kritik yang dihinggakan bukan pada pribadinya, tetapi pada pekerjaannya. Jadi, ia tetap memiliki rasa aman dan tidak merasa terancam.

“Saya memberimu umpan balik karena saya ingin kamu maju”. Kira-kira, pesan tersirat tersebut harus dapat diterima bawahan saat kita memberikan kritik.

Ingat, bawahan memiliki hak atas perasaannya. Kita tidak dapat mempertanyakan mengapa ia memiliki perasaan tertentu.

Kedua, kita perlu memperhatikan frekuensi pemberian umpan balik. Banyak atau hampir semua perusahaan membuat jadwal pemberian umpan balik. Ibarat hubungan percintaan, bagaimana menciptakan hubungan yang harmonis bila pembicaraan dari hati ke hati hanya dilakukan 3 atau bahkan 6 bulan sekali?

Giving feedback to employees should not be limited to the annual performance review.

Alangkah baiknya bila kita sebagai atasan selalu berada on a feedback mode. Artinya, kita siap bertanya jawab dengan bawahan setiap saat. Siap memberi umpan balik berarti kita secara teratur melakukan observasi terhadap perilaku bawahan, laporan-laporannya, serta sikapnya kepada pelanggan dan teman kerja.

Bila observasi itu dilakukan secara bersamaan dengan pemberian umpan balik positif, bawahan tidak akan merasa bahwa ia dalam pengawasan, tetapi justru diperhatikan.

Berdasarkan laporan How Millennials Want to Work and Live, para milenial pergi dari tempat kerjanya karena tidak memperoleh kedekatan, umpan balik, dan arahan dari atasannya terkait pengembangan diri.

Ketiga, umpan balik harus actionable. Banyak atasan yang hanya mengkritik, tetapi tidak memberikan petunjuk cara memperbaikinya. Sebaik-baiknya niat atasan dalam memberi umpan balik, bila mereka tidak paham jalan perbaikan yang harus ditempuh, umpan balik tidak akan berdampak positif.

Seorang teman memiliki kebiasaan untuk menuliskan pesan kepada bawahannya tentang apa yang baru saja mereka bicarakan bersama. Hal ini membuat bawahannya merasa benar-benar memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti perbaikan yang sudah dituliskan secara jelas itu.

Kebiasaan itu merupakan salah satu contoh individual development plan dalam teknik coaching yang dapat diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari. Dalam penerapannya, kita dapat meminta bawahan menuliskan hal-hal yang dibicarakan bersama, kemudian kita perbaiki bila perlu.

Hal terpenting, hubungan sesuai itu perlu dibina secara berkesinambungan. Inilah tugas seorang pemimpin.

 

Aktifkan Notifikasimu

Aktifkan

Auto Post Artikel di Blogspot

Cara Menulis Artikel Otomatis di Blogger


(KOM)(MLS)

Comments