Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana menerapkan pajak karbon pada tahun 2022.
Pajak karbon menjadi salah satu rencana yang tertuang dalam Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang dibahas bersama DPR.
Bendahara negara ini mengungkapkan, tarif pajak karbon masih didiskusikan hingga ke ranah internasional.
Sri Mulyani bersama koalisi Menteri Keuangan dari berbagai negara masih mendiskusikan praktek penerapan harga yang lebih seragam.
"Ini sebagai salah satu pembahasan kami, pimpinan dari koalisi Menteri Keuangan untuk perubahan iklim, bersama Finlandia membahas mengenai bagaimana praktek dari penerapan harga karbon yang lebih seragam sehingga menimbulkan kepastian," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (29/6/2021).
Memang, tarif pajak karbon di dunia saat ini sangat tidak seragam karena berada pada rentang yang lebih luas.
Di Jepang, pajak karbon dikenakan sebesar 3 dollar AS/ton CO2e. Sedangkan di Perancis tarifnya hingga 49 dollar AS/ton CO2e.
Sementara di Spanyol, tarif pajak karbon yang dikenakan hingga 17,48 dollar AS/ton CO2e untuk semua sektor emisi gas rumah kaca (GRK) dari gas HFCs, PFCs, dan SF6.
Di Kolombia, tarifnya sebesar 4,45 dollar AS/ton CO2e untuk semua sektor.
"Menurut hitungan para ahli perubahan iklim, harga dari CO2 itu seharusnya hingga 120 dollar AS per ton pada tahun 2030, ini sebagai salah satu pembahasan kami," beber Sri Mulyani.
Sri Mulyani menyebut, penerapan pajak karbon di Indonesia menjadi sangat krusial lantaran merupakan negara kepulauan yang rentan terhadap perubahan iklim.
Perubahan iklim ini mengakibatkan kenaikan air laut dan mengancam penenggelaman pulau.
Di sisi lain, belanja negara untuk mengurangi GRK sangat mahal. Kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim rata-rata memerlukan dana hingga Rp 266,2 triliun per tahun, sesuai Second Biennial Update Report.
Sedangkan selama 5 tahun terakhir pada periode 2016-2019, rata-rata alokasi anggaran perubahan iklim di APBN hingga 4,1 persen per tahun.
APBN berkontribusi sekitar 32,6 persen per tahun dari total kebutuhan biaya mitigasi, dengan realisasinya rata-rata hingga Rp 86,7 triliun.
"Maka dalam hal ini Indonesia perlu meningkatkan kemampuan membiayai perubahan iklim baik mitigasi dan adaptasi melalui sumber yang berasal dari salah satu penyebab perubahan iklim, yaitu karbon," jelas Sri Mulyani.
Indonesia mengikuti perjanjian internasional dengan komitmen menurunkan 26 persen emisi GRK pada tahun 2020, dan 29 persen pada tahun 2030.
Bahkan angkanya dapat lebih tinggi bila menerima dukungan internasional.
"Oleh karena itu, saat ini kita belum memiliki landasan regulasi pengenaan pungutan atas emisi karbon sebagai salah satu instrumen mengurangi GRK, sehingga dalam hal ini pengenaan pajak karbon jadi penting," pungkas Sri Mulyani.
Aktifkan Notifikasimu
Aktifkan
Inilah cara menulis artikel secara otomatis di blogger!
Comments
Post a Comment