Cari Tahu, "Di Saat Seperti Ini Kebijakan Fiskal Perlu Jalan Duluan..."

Cari Tahu, "Di Saat Seperti Ini Kebijakan Fiskal Perlu Jalan Duluan..."

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai risiko ketidakpastian ekonomi yang tinggi selama masa Pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama lambatnya penurunan suku bunga kredit perbankan. Ekonom Indef Eko Listiyanto mengungkapkan, sekalipun bank sudah menurunkan suku bunga, hal tersebut tidak akan menggairahkan kinerja sektor riil lantaran kasus Covid-19 di Indonesia masih tinggi. Dia bilang, sektor swasta tetap berhati-hati dalam melakukan ekspansi bisnis, utamanya bila sumber dana merupakan utang dari perbankan yang memiliki kewajiban cicilan.

"Di saat sesuai ini kebijakan fiskal perlu jalan duluan mengatasi pandemi dan mendorong daya beli, baru kemudian sektor perbankan akan mengikuti seiring optimisme yang mulai pulih," kata Eko dalam siaran pers, Senin (8/3/2021). Eko berpendapat, relatif tingginya biaya dana dan operasional di Bank BUMN juga menjadi salah satu penyebab lainnya bank enggan buru-buru merespons kebijakan suku bunga acuan BI. Pada Desember 2020, tercatat BOPO perbankan berada di kisaran 86,58 persen. Hal ini menggambarkan besarnya biaya operasional bank di tengah sempitnya ruang pendapatan operasional saat pandemi. "Kondisi ini memang membuat bank tidak cepat merespons (rigid/kaku) penurunan suku bunga Acuan BI," tuturnya. Kendati, bank sudah berusaha menurunkan suku bunga dasar kredit (SBDK) meski nilainya tak serendah suku bunga acuan BI. Tercatat SBDK perbankan telah mengalami penurunan secara bertahap per masing-masing segmen. SBDK korporasi Januari 2021 sebesar 9,08 persen turun dari 10,30 persen pada Januari 2019. Sementara itu, SBDK ritel Januari 2021 sebesar 9,94 persen turun dari 11,05 persen pada Januari 2019. Adapun SBDK KPR Januari 2021 sebesar 9,80 persen turun dari posisi 10,91 persen pada Januari 2019.

"Jadi, walaupun bunga acuan BI (BI-7DRR) diturunkan 125 bps sepanjang 2020, akan tetapi bunga kredit hanya turun 83 bps," tutur Eko.

Senada dengan Eko, Chief Economist BRI Anton Hendranata menyebut, penurunan suku bunga kredit tidak akan cukup mendongkrak pertumbuhan kredit untuk menopang pemulihan ekonomi. Jika kita mau mengakselerasi pertumbuhan kredit, lanjut Anton, syarat kecukupan dan tambahannya ialah dorong kenaikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan daya beli secara signifikan. Makanya, stimulus ekonomi melalui dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 masih sangat dibutuhkan. Bantuan sosial, bantuan langsung tunai, dan program padat karya adalah jalan terbaik, cepat, dan relatif mudah implementasinya di lapangan. "Hal ini cukup efektif mendorong kembali belanja masyarakat level bawah karena kecenderungan mengonsumsi (marginal propensity to consume/MPO)-nya tinggi," imbuh Anton.

Lebih lanjut kata Anton, pengalaman tahun 2020 menjadi pelajaran berharga agar realisasi dana PEN 2021 lebih baik dibandingkan 2020. Anggaran PEN di tahun 2021 harus dapat mengakselerasi permintaan yang relatif lemah di 2020. Realokasi anggaran ke sektor yang terbukti ampuh mendorong permintaan domestik menjadi hal yang tidak dapat ditawar lagi. "Oleh karena itu, mendongkrak kembali permintaan masyarakat dan daya belinya, serta pengendalian pandemi Covid-19 adalah kunci utama mendorong pertumbuhan kredit," sebut Anton.

Aktifkan Notifikasimu

Aktifkan

Mengatasi Whatsapp Business Sering Error dan Diblokir Sendiri

Kenali Berbagai Macam Tipe Data yang Ada di Bahasa Pemrograman


(KOM)(MLS)

Comments