Harga batubara menguat dengan kontrak ICE Newcastle naik 0,45% ke level USD 67,35/ton pada 8 November. Grafik harga batubara ini naik 11,3% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Beberapa bulan sebelumnya, harga batu bara mengalami tren penurunan karena potensi resesi global yang semakin meningkat.
Dalam periode sepuluh bulan ini, total impor batubara Cina hingga 276,24 juta ton, naik 9,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Namun, perlu pula menjadi catatan bahwa Cina kini sedang mengalihkan konsumsi energinya dari batubara ke gas. Ini kemungkinan akan mempengaruhi grafik harga batubara ke depannya.
Meski, emiten batubara masih akan diuntungkan dalam keadaan ini karena harga batubara yang masih jauh lebih murah ketimbang gas. Grafik harga batubara tentu menyesuaikan dengan permintaan pasar ini.
Bagaimanapun, hingga akhir 2019 nanti, PT Golden Eagle Energy Tbk (SMMT), misalnya, masih optimis dapat hingga target produksi sebesar 1,8 juta ton. Raihan produksi batu bara di kuartal III telah hingga 77,7% dari target, yakni sekitar 1,4 juta ton.
Berkaca dari produksi ini, pada awal kuartal tahun 2019 saja, SMMT telah berhasil membukukan penjualan ekspor hingga Rp49,57 M. Ini dilakukan dengan menjual batubara ke sejumlah negara sesuai Thailand, Kamboja, Vietnam, Hongkong, dan India.
Emiten batubara dengan harga batubara tertinggi
Saham sektor pertambangan pada awal 2019 sempat menjadi penopang Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia. Penyebab meningkatnya sektor pertambangan ini karena Cina menyetop impor batubara dari Australia. Ini tentu menguntungkan pelaku ekspor batubara dari Indonesia.
Kebijakan Cina ini mengangkat saham-saham emiten batubara. Bahkan dua emiten batubara, saham Adaro Energy Tbk. (ADRO) dan Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG) masuk jajaran 10 saham penggerak indeks (movers) di perdagangan saham.
Penguatan nilai emiten pada awal tahun ini sempat turun jelang kuartal III 2019. PT Indika Energy Tbk (INDY) bahkan mengalami kerugian hingga US 8,6 juta. Menilik penurunan harga ini, emiten batubara masih tampak akan terus melemah dalam jangka panjang.
Menurut Dessy Lapagu, analis Samuel Sekuritas Indonesia, ini karena faktor efisiensi yang menjadi pendukung kinerja emiten batubara.
Sementara itu, kepala riset Koneksi Kapital Indonesia, Alfred Nainggolan, justru berpendapat bahwa pelemahan ini akan terbatas karena emiten batubara masih menargetkan kenaikan volume produksi. Dengan demikian, pada tahun mendatang kemungkinan kenaikan kinerja akan terjadi dengan pertumbuhan volume produksi ini.
Penentu grafik harga batubara tanah air setahun terakhir
Dalam setahun ini, isu tentang pengesahan revisi UU Mineral dan Batubara (UU Minerba) mempengaruhi harga saham emiten batubara. Saham emiten UNTR dan INDY turun sampai 4%, sementara ADRO bahkan turun hingga 5%.
Penurunan harga batubara ini diperkirakan karena ketidakpastian RUU Minerba karena di dalamnya masih terdapat pasal kontroversial dan menjadi tekanan negatif bagi pelaku di emiten tambang dan mineral pada umumnya. Misal, mengenai pembatasan area konsesi tambang yang maksimal hingga 15.000 hektare dan bila lebih dari itu perusahaan perlu mendivestasi lahan.
Meski demikian, sentimen RUU minerba ini diperkirakan hanya bersifat sementara dalam menentukan grafik harga batubara.
Selebihnya, ialah persoalan kontrak perusahaan yang berkaitan dengan izin usaha pertambangan. Beberapa perusahaan akan segera berakhir masa kontraknya.
Sementara itu, dari faktor importir, Cina masih tercatat sebagai pengguna batubara tertinggi di dunia sebagai bahan bakar utama pembangkit energi dengan konsumsi hingga 1.907 MTOE per tahun.
Di posisi kedua ditempati India dengan konsumsi 452 MTOE per tahun, dan di posisi ketiga Amerika dengan konsumsi 317 MTOE per tahun. Sementara itu, Indonesia sendiri menempati posisi kesembilan dengan konsumsi 62 MTOE.
Bila produksi emiten batubara dapat ditujukan pada kebutuhan negara-negara ini, pada masa mendatang valuasi emiten batubara agaknya tidak akan turun terlalu banyak karena masih menjadi kebutuhan global untuk energi.
Sumber: Kontan, CNBC Indonesia, APBI-ICMA, APBI-ICMA
Comments
Post a Comment