Cari Tahu, UU KPK Dipandang Tidak Menguntungkan untuk Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Ini 26 Poin Pelemahan KPK

Cari Tahu, UU KPK Dipandang Tidak Menguntungkan untuk Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Ini 26 Poin Pelemahan KPK

UU KPK yang disahkan pada 17 September 2019 mendulang banyak kontroversi. Kewenangan KPK dipangkas dalam menindak pelaku korupsi. Ini dipandang akan menguntungkan koruptor. Pengamat politik Karyono Wibowo mengamati terjadi pelemahan KPK.

Sejumlah pasal punya potensi mengganggu kewenangan komisi ini dan menyebabkan pelemahan KPK.

Pertama, poin tentang kedudukan KPK sebagai bagian dari lembaga pemerintah. Kedua, poin tentang adanya dewan pengawas yang dipilih DPR.

Pelemahan KPK ini dipandang akan mengganggu pemberantasan korupsi di Indonesia. Kedua puluh enam poin yang dinyatakan melemahkan KPK dikutip dari media sosial @KPK_RI, sebagai berikut:

Poin #1 – Poin #5, pelemahan KPK dari segi independensi

KPK hanya diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif. Pegawai KPK ditunjuk sebagai ASN, ini mengganggu independensi terkait pengangkatan, pergeseran, dan mutasi pegawai.

Selain itu, bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi juga dihapus.

Syarat menjadi Dewan Pengawas juga tidak lebih berat dibandingkan menjadi pimpinan KPK. Lantas, ada pertanyaan terkait Dewan Pengawas, mengenai siapa yang akan mengawasi Dewan Pengawas? Selain itu, standar larangan etik dan antikonflik kepentingan juga terbilang rendah.

Poin #6 – Poin #10, mengenai dewan pengawas, pimpinan KPK, dan penyelidikan

Ini pelemahan KPK terkait subjek-subjek antirasuah. Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.

Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.

Salah satu pimpinan KPK terpilih pasca UU ini disahkan terancam tidak dapat diangkat karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun).

Mengenai pemangkasan kewenangan penyelidikan, penyidik tidak lagi dapat mengajukan larangan terhadap seseorang ke luar negeri. Hal ini berisiko untuk kejahatan korupsi lintas negara.

Poin #11 – Poin #15, mengenai Operasi Tangkap Tangan (OTT), risiko kriminalisasi, dan risiko penyidik PNS

Pelemahan KPK dari segi ini terkait berbagai risiko dalam praktik penerapan anti-korupsi dan tindakan pemberantasannya.

OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.

Terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh  menjalani OTT sesuai saat ini lagi. Membenarkan asumsi bahwa KPK harus menghentikan jika dalam proses penyelidikan terdeteksi akan adanya transaksi sehubungan tindak pidana korupsi.

Risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas. Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara, akan tetapi tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait , ruang lingkup perkara danj uga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut.

Ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus. Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang menjalani koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi.

Namun di sisi lain, jika pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri.

Berkurangnya kewenangan penuntutan. Pada pasal 12 (2) tidak disebut kewenangan penuntutan. Hanya disebut “dalam melaksanakan tugas penyidikan”, padahal sejumlah kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap terdakwa (ranah penuntutan).

Poin #16 – Poin #20, tentang pelaksanaan penuntutan dan ketidakpastian status pegawai KPK

Pelemahan KPK dari segi ini terkait pelaksanaan penuntutan dan status pegawai KPK. Dalam pelaksanaan penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait. Tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.

Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status Aparatur Sipil Negara.

Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.

Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3.

Poin #21 – Poin #26, tentang sejumlah norma, hilangnya posisi penasihat KPK, dan kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik

Terdapat pertentangan sejumlah norma, sesuai: pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.

Hilangnya posisi panasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan. Hilangnya juga kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik.

KPK hanya berkedudukan di ibukota negara, KPK tidak lagi memiliki kesempatan untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah.

Tidak ada penguatan dari aspek pencegahan. Tidak diaturnya sanksi tegas terhadap kewajiban lapor yang tidak melaporkan LHKPN serta tidak adanya kewajiban menindaklanjuti rekomendasi KPK terkait pencegahan.

Kewenangan KPK menjalani supervisi dikurangi. Hilangnya pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk menjalani pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang menjalani pelayanan publik.

Selain 26 poin ini, pembentukan UU KPK sendiri dipandang sebagai UU yang cacat secara prosedural, karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan KPK, apalagi melibatkan khalayak.

Ke Mana Perginya Pajak yang Mesti Dibayarkan Para Koruptor

Lebih dari 331 miliar dolar AS (setara 4.500 triliun rupiah) aset orang Indonesia ada di negara suaka pajak (tax havens). Sekitar 200 triliun rupiah aliran dana ilegal keluar Indonesia setiap tahun.

Sebagai gambaran, utang luar negeri Indonesia hanya sekitar 5.601 triliun rupiah per Juni 2019. Membayangkan aset orang Indonesia di suaka pajak ini, tentu kita membayangkan, semestinya ini dapat untuk membayar utang negara, ya?

Pada kenyataannya, terbukanya dokumen Panama Papers menyajikan informasi tentang pemimpin negara, pejabat dan petinggi politik, pebisnis, hingga profesional yang menggunakan jasa firma hukum Mossack Fonsesca di Panama untuk berbagai tujuan, baik bisnis, penyamaran keowneran, hingga penghindaran pajak.

Suaka pajak memang melindungi dari pengenaan pajak. Istilah ini kali pertama muncul pada The Times pada 17 Mei 1894. Tarif pajak memang pernah sangat tinggi, pada 1924 saja pernah ada pengenaan tarif pajak sekitar 72 persen. Sejak itu, tiga kota di Swiss, yakni Geneva, Zurich, dan Bassel lazim menjadi pusat penghindaran pajak yang aman.

Pada 1930-an, Bahama mulai menjadi suaka pajak. Selanjutnya pada 1960, muncul suaka pajak baru di Cayman Island yang didukung perbankan Kanada. Pada saat bersamaan, Panama muncul sebagai suaka pajak yang menyimpan dana milik pengusaha Amerika dan Amerika Tengah, terutama Kuba.

Negara suaka pajak pada umumnya menawarkan manfaat dari peluang diversifikasi investasi hingga peluang mengembangkan bisnis. Pada masa globalisasi ini, efisiensi pajak memang motif utama modal mencari keuntungan maksimal.

Jadi, kebayang, dong, pelemahan KPK ini dapat memperkuat larinya para pengusaha ini untuk menggunakan berbagai keleluasaan dari negara-negara suaka pajak?

Sumber: Kontan, CNBC Indonesia

Comments